Hembusan Angin Menambah Luas Kebakaran Hutan di Gunung Agung
Sat, 01/09/2012 - 23:57 WIB
KARANGASEM, RIMANEWS -Tiupan angin
kencang, dan belum maksimalnya upaya pemadaman petugas gabungan dalam
menghambat penyebaran titik api membuat kebakaran hutan di Gunung Agung
Kabupaten Karangasem, Bali semakin meluas.
Dari laporan yang diterima Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Bali, hingga petang tadi, api masih menyala di beberapa titik di
bagian timur dan tenggara gunung terus meluas ke arah barat. Hutan yang terbakar
masuk di Kecamatan Abang dan Kubu, mencapai ratusan hektar.
"Sampai saat ini, upaya pemadaman masih manual
mengingat lokasi kebakaran yang sangat terisolir. Kami juga telah bangun Posko
Pemantauan di Batudawa Kaja Dusun Kedampal," kata Kepala UPTD Pusdalops
Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Bali I Gede Made Jaya Serataberana,
Sabtu, (1/9/2012).
Ssejak pagi, ratusan petugas gabungan BPBD Provinsi
Bali, BPBD Karangasem, BPBD Badung, Tagana, SAR, PMI, Kesbanglinmas
Karangasem, Koramil Abang, Kodim Karangasem, Polsek Kubu, Dinas Kehutanan
Provinsi Bali bergerak ke loksi.
Turut bergabung petugas Dinas Kehutanan Karangasem,
Basarnas dan SAR Karangasem, Tagana dan PMI, Gegana dan Sabhara Rescue Polda
Bali, Aparat dari Kecamatan Abang dan Kubu serta masyarakat setempat.
Awalnya, dikirim petugas pemadaman sebanyak 86 orang
Untuk mendekati titik api di lereng Gunung Agung di ketinggian sekira 3000
meter dpl (dari permukaan laut). Pemadaman dilakukan dengan membuat parit-parit
dan pembatas dengan merabas pohon.
Namun sekira Pukul 14.10 WITA, api kembali membesar
sehingga tim yang naik menuju titik api terpaksa kembali turun, sambil menunggu
kedatangan pesawat helikopter SAR Denpasar.
Sekira Pukul 15.00 WITA helikopter SAR diarahkan
menuju lokasi untuk mendukung operasi pemadaman kebakaran, dan mendarat di
Tanah Aron untuk bersama-sama BPBD Karangasem melakukan pemantauan kondisi dari
udara hingga pukul 16.10 WITA.
Sejauh ini, korbaran api masih berada jauh dari lokasi
pemukiman. Akan tetapi kebakaran tersebut membuat ratusan hektar hutan pinus
ludes terbakar.
Sementara Pelaksana BPBD Karangasem Nyoman Sutirtayasa
mengatakan, pihaknya hanya bisa melakukan pemadaman secara manual, degan
menerjunkan sekira 231 personel dari tim gabungan yang dibagi menjadi dua.
Tim pertama yang berjumlah 105 orang langsung menuju
titik api dan membuat parit untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran tersebut.
"Sisanya bertugas untuk keperluan logistik dan sebagai pengganti,"
ujarnya.
Kebakaran yang menghanguskan hutan lindung itu,
menurut warga sekitar sejatinya api dalam skala kecil sudah terlihat dalam dua
hari terakhir, namun padam dengan sendirinya.
Barulah pada Jumat 31 Agustus 2012, kata Sutirtayasa,
pukul 14.00 WITA membesar sehingga hutan yang terbakar semakin meluas.
Kebakaran hebat ini diduga disebabkan musim kemarau serta angin yang berhembus
dengan kencang. "Penyebab awal kebakaran diperkirakan akibat gesekan
antara ranting pohon dengan batu," ucapnya.
Untuk itu pihaknya membutuhkan, alat-alat yang bisa
menembus medan yang berat untuk memadamkan api dan alat untuk memadamkan api
dari udara seperti Helikopter tangki bermuatan air.[ach/okez
Kerusakan Hutan Terabaikan
Jumat, 20 April 2012 | 01:44 WIB
Jambi, Kompas - Perusakan dan penghancuran taman nasional dan hutan
lindung telah berlangsung lama serta terus meningkat setiap tahun, tetapi
jarang ditindak. Penertiban berlangsung sesaat dan tanpa sanksi tegas. Bahkan,
pemerintah pusat dan daerah seperti saling lempar tanggung jawab dalam
mengatasi persoalan itu.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Kamis
(19/4), menegaskan, kawasan taman nasional tetap dilarang dirambah. Karena itu,
Kementerian Kehutanan akan terus menjalankan berbagai prosedur guna menertibkan
perambahan kawasan taman nasional yang dilindungi itu. ”Tidak ada yang boleh
merambah kawasan taman nasional. Itu final. Kami mencari solusi terbaik agar
kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan terjaga. Namun, para cukong
yang memodali perambahan hutan akan saya sikat,” ujar Menhut.
Di Indonesia ada 43 taman nasional darat dengan luas
kawasan 12,3 juta hektar. Namun, 30 persen di antaranya dalam kondisi rusak
parah akibat perambahan. Di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), misalnya, kini
beroperasi 40 perusahaan pertambangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa
sawit.
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut
Darori menambahkan, penertiban pidana kehutanan di TN Gunung Leuser, TN Kerinci
Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan terus berjalan. Namun, prinsip operasinya
tak menghukum perambah yang diperalat pemodal. Langkah lain, pemerintah juga
merelokasi 50 keluarga perambah hutan di Sumatera Utara ke Sumatera Selatan
dalam program transmigrasi.
”Kami sudah menggelar operasi terpadu untuk menurunkan
perambah dari TN Bukit Barisan Selatan dan TN Gunung Leuser. Di TN Kerinci
Seblat juga mulai ditertibkan. Perambah diperingatkan keluar dari hutan. Tetapi
kalau sudah berskala masif, tetap dipidana,” ujar Darori.
Soal dana dan kewalahan
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Hasviah
menyayangkan tuntutan pemerintah pusat kepada daerah untuk menjaga taman
nasional begitu besar, tetapi tak sebanding dengan alokasi dana bagi dinas
kehutanan di daerah.
Pihaknya mengaku kewalahan menjaga kawasan hutan
produksi dan konservasi di Jambi seluas 2,1 juta hektar (ha) dengan hanya
berbekal dana APBD tingkat I sebesar Rp 350 juta dan dukungan sekitar 100
polisi hutan yang memasuki usia pensiun.
”Menjaga hutan produksi yang penuh konflik dengan
perambah saja kami sudah kewalahan, masih ditambah lagi beban menjaga taman
nasional. Tuntutan ini tak sebanding dengan yang pusat berikan kepada kami,”
ujarnya.
Hasviah menambahkan, dana pusat bagi lembaga bentukan
pusat, yakni Balai Taman Nasional, sekitar Rp 5 miliar per tahun. ”Namun, dana
untuk menjaga taman nasional melalui dinas kehutanan tak ada,” katanya.
Senada dengan Hasviah, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus
mengatakan akan meminta pemerintah pusat membantu penanganan perambahan hutan.
Selain aktivitas perambahan lama belum terselesaikan, perambahan baru juga
terjadi di sejumlah lokasi. ”Kami kewalahan. Makin banyak perambah yang masuk
ke kawasan hutan lindung dan taman nasional,” katanya.
Bahkan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli
Yusuf berpendapat, pihaknya tak berperan dalam mengawasi taman nasional karena
Kemenhut telah membentuk unit pelaksana teknis di Riau, yakni Balai Taman
Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang berfungsi mengawasi hutan konservasi.
”Kawasan konservasi sepenuhnya wewenang pusat. Sesuai aturan,
tugas kami hanya menjaga hutan produksi yang berada minimal di dua
kabupaten/kota yang belum diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan,”
ujarnya. Kerusakan di TNTN sekitar 28.500 hektar.
Di KEL, Aceh, kerusakan terparah dipicu alih fungsi
hutan menjadi perkebunan, pertambangan, pembalakan liar, dan pembangunan jalan.
Saat ini, selain 40 perusahaan pertambangan, ada pula 16 perusahaan perkebunan
beroperasi dalam KEL.
”Semestinya kawasan KEL tak diperuntukkan bagi
permukiman dan infrastruktur, apalagi perkebunan dan pertambangan. Ini sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 yang menetapkan KEL sebagai kawasan
strategis nasional,” kata Kepala Bidang Pemanfaatan Lingkungan KEL Teddy Azima.
KEL seluas 2,7 juta ha meliputi 2,2 juta ha di Aceh dan 500.000 ha di Sumut.
Tumpang tindih
Tingginya tingkat perambahan di kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung, tidak lepas dari tumpang tindihnya
aturan soal tapal batas wilayah. Karena itu, Polres Tanggamus sedang menelusuri
indikasi terjadinya pungutan liar terhadap perambah di wilayah Pematangsawa.
Di Pematangsawa, sebagian perambah menguasai tanah
yang masuk kawasan TNBBS dengan membeli dari oknum pejabat desa (kepala pekon)
setempat. ”Ada yang beli Rp 2 juta-Rp 3 juta per ha. Mereka diimingi
sertifikat. Kami telah menangkap salah seorang dari mereka yang ternyata suami
kepala pekon di Tiron,” ujar Kepala Polres Tanggamus Ajun Komisaris Besar Bayu
Aji.
Ada pula pungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap
obyek tanah yang dikuasai perambah, seperti di Rata Agung dan Lemong, Kabupaten
Lampung Barat. ”Kami mensinyalir pajak ini muncul akibat ketidakpahaman dan
kurangnya koordinasi aparat desa,” ujar Kepala Bidang Wilayah I TNBBS Iwen
Yuvanho.
Terkait penertiban, Kepala Balai Besar TN Gunung
Leuser Andi Basrul mengatakan akan menempuh langkah represif untuk mengusir
perambah. Ia akan meminta bantuan TNI dan Polri serta mengajak masyarakat yang
peduli kelestarian hutan untuk mengusir perambah.
Juni 2011, petugas TNGL dibantu polisi coba mengusir
perambah. Aksi itu dilawan dan sempat ricuh sehingga 11 orang, termasuk polisi,
terluka dan dirawat di rumah sakit. ”Butuh waktu lama dan kesabaran tinggi.
Namun, ini yang bisa kami lakukan,” kata Kepala Bidang Teknis Konservasi BB
TNGL Genman S Hasibuan.
Hingga kini, 22.100 ha TNGL di Sumut dirambah. Sekitar
15.000 ha di antaranya dijadikan permukiman dan perkebunan kelapa sawit dan
karet. Adapun jumlah perambah 6.000 jiwa. Mereka tersebar di Sei Minyak, Bara
Induk, dan Damar Hitam (ITA/JON/MHF/ADH/SAH/HAN/HAM)
Taman Nasional Rusak Parah
Kamis, 19 April 2012 | 01:42 WIB
Banda Aceh, Kompas - Keberadaan taman nasional
sebagai kawasan hutan yang dilindungi kian terancam menyusul maraknya
perambahan. Aksi ilegal ini jarang ditindak karena sejumlah pejabat di daerah
ditengarai ikut menyokong pengambilan kayu serta usaha pertambangan dan
perkebunan.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, Rabu (18/4),
Indonesia memiliki 43 taman nasional darat dengan luas kawasan mencapai 12,3
juta hektar. Namun, sekitar 30 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah
akibat perambahan.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh
menyebutkan, ada 40 perusahaan pertambangan yang mengantongi izin usaha di
wilayah Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Singkil. Lokasi
penambangan 40 perusahaan itu masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di zona
hutan lindung.
Di kawasan rawa gambut Tripa juga terjadi alih fungsi
lahan besar-besaran untuk perkebunan. Menurut data Walhi Aceh, luas rawa gambut
Tripa awalnya
61.000 hektar, kini tersisa 20.000 hektar. Terakhir pemberian izin bagi PT Kalista Alam di Darul Makmur untuk perkebunan sawit di lahan gambut seluas 1.605 hektar. Padahal, KEL bukan untuk perkebunan.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah berjanji mengevaluasi
semua izin pertambangan dan perkebunan itu. Kerusakan lingkungan akibat
aktivitas alih fungsi itu meningkatkan kerawanan bencana di Aceh. ”Bumi Aceh
banyak digali untuk tambang, tapi tak ada untuk kesejahteraan rakyat. Pasti ada
yang salah,” kata Zaini.
Pembukaan hutan di kawasan KEL juga dilakukan untuk
pembangunan proyek Ladia Galaska yang dicanangkan tahun 2002. Jalan itu
menembus hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di ruas jalan yang
dibuka, kata Kepala Bidang Pemanfaatan Lingkungan KEL Teddy Azima, ditemukan
kerusakan lingkungan akibat perambahan hutan.
Hasil riset Bank Dunia menunjukkan, selama 2006-2010
terjadi kerusakan hutan di KEL seluas 90.000 hektar. ”Dalam setahun ada
20.000 hutan di KEL rusak. Tahun 2012, kerusakan lebih luas lagi,” ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar.
20.000 hutan di KEL rusak. Tahun 2012, kerusakan lebih luas lagi,” ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar.
Kondisi TNGL di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumut
makin mengkhawatirkan. Tahun 1989-2009, perusakan hutan sekitar 625 hektar per
tahun. Kini kerusakan telah mencapai 22.100 hektar. Padahal, TNGL telah
ditetapkan UNESCO sebagai hutan hujan tropis warisan Sumatera.
Bahkan, TNGL yang berada di Besitang, Kabupaten
Langkat, telah berubah jadi perkampungan dan didiami 3.000 orang eks pengungsi
Aceh. Sekitar belasan ribu hektar hutan TNGL pun berubah jadi lahan perkebunan
kelapa sawit dan karet. Usaha itu didukung investor. ”Kami ingin menertibkan,
tapi bukan perkara mudah,” kata Kepala Balai Besar TNGL Andi Basrul.
Abaikan masyarakat
Pakar kehutanan dari Universitas Bengkulu, Agus
Susatya, menyatakan, kondisi taman nasional yang sangat dilindungi
kelestariannya pun sama saja dengan hutan lainnya, yakni rawan gangguan.
Sebagian besar pengelolaan kehutanan bersumber dari luar kehutanan, seperti
populasi penduduk yang meningkat, desakan ekonomi masyarakat di sekitar hutan,
penguasaan lahan yang luas oleh perusahaan swasta, dan kebijakan pemerintah
yang tidak pro-lingkungan.
”Pengelolaan hutan kita hanya terbatas bagaimana menjaga kawasan hutan tanpa melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Jika masalah ini tidak segera dipecahkan, gangguan hutan terus terjadi,” ujar Agus.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Provinsi Bengkulu juga menjadi sasaran perambahan, pembalakan liar, dan penambangan emas. Menurut Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Bengkulu-Sumsel Donal Hutasoit, dibandingkan pembalakan liar atau penambangan emas rakyat ilegal, gangguan terhadap TNKS didominasi perambahan. ”Dari 340.000 hektar luas TNKS di Bengkulu, luas hutan yang dirambah mencapai 6.800 hektar. Lokasi itu telah berubah jadi kebun kopi,” ujar Donal.
Kasus serupa menimpa TNKS wilayah Jambi. Di sana, lebih dari 200.000 hektar hutan hujan tropis rusak dirambah. Degradasi hutan mengganggu daerah aliran sungai di Bengkulu, Jambi, Sumbar, dan Sumsel. TNKS di wilayah Sumbar juga setali tiga uang. Menurut Khalid Khalilullah dari Walhi Sumbar, penebangan liar cenderung terjadi di setiap batas dengan TNKS Jambi.
Koordinator Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network, Barlian, menilai ancaman terhadap TNKS lainnya yang sudah berlangsung lama adalah ambisi sejumlah kepala daerah Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumbar, dan Sumsel ingin membangun jalan menembus zona inti TNKS.
”Ada 33 ruas jalan tembus TNKS yang diusulkan kepala daerah di Jambi, Bengkulu, Sumbar, dan Sumsel. Isu jalan tembus ini biasanya menjadi bualan politik saja menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum,” ujar Barlian. Di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, perambahan mulai 2002 untuk perkebunan sawit. ”Kerusakan TNTN telah mencapai 28.500 hektar dari 80.000 hektar luas TNTN,” ujar Nursyamsu, peneliti dari WWF Riau.
Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf menegaskan, pihaknya tidak berperan mengawasi TNTN. ”Kawasan konservasi sepenuhnya wewenang pusat,” katanya.Kondisi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN Way Kambas juga kian terdesak. ”Kawasan TNBBS telah dikepung perambah. Ada 61.000 hektar jadi perkebunan kopi, kakao, lada, dan sawah,” ujar Kepala Balai Besar TNBBS Jhon Kenedie.
Ahli kehutanan Universitas Gadjah Mada, Taufik Tri Hermawan, berpendapat, ancaman terbesar terhadap kawasan konservasi, termasuk taman nasional, justru dari manusia. ”Tiga ancaman terbesar adalah perubahan tata guna lahan menjadi perkebunan, tambang, dan pemekaran kabupaten baru,” katanya.
”Pengelolaan hutan kita hanya terbatas bagaimana menjaga kawasan hutan tanpa melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Jika masalah ini tidak segera dipecahkan, gangguan hutan terus terjadi,” ujar Agus.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Provinsi Bengkulu juga menjadi sasaran perambahan, pembalakan liar, dan penambangan emas. Menurut Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Bengkulu-Sumsel Donal Hutasoit, dibandingkan pembalakan liar atau penambangan emas rakyat ilegal, gangguan terhadap TNKS didominasi perambahan. ”Dari 340.000 hektar luas TNKS di Bengkulu, luas hutan yang dirambah mencapai 6.800 hektar. Lokasi itu telah berubah jadi kebun kopi,” ujar Donal.
Kasus serupa menimpa TNKS wilayah Jambi. Di sana, lebih dari 200.000 hektar hutan hujan tropis rusak dirambah. Degradasi hutan mengganggu daerah aliran sungai di Bengkulu, Jambi, Sumbar, dan Sumsel. TNKS di wilayah Sumbar juga setali tiga uang. Menurut Khalid Khalilullah dari Walhi Sumbar, penebangan liar cenderung terjadi di setiap batas dengan TNKS Jambi.
Koordinator Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network, Barlian, menilai ancaman terhadap TNKS lainnya yang sudah berlangsung lama adalah ambisi sejumlah kepala daerah Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumbar, dan Sumsel ingin membangun jalan menembus zona inti TNKS.
”Ada 33 ruas jalan tembus TNKS yang diusulkan kepala daerah di Jambi, Bengkulu, Sumbar, dan Sumsel. Isu jalan tembus ini biasanya menjadi bualan politik saja menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum,” ujar Barlian. Di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, perambahan mulai 2002 untuk perkebunan sawit. ”Kerusakan TNTN telah mencapai 28.500 hektar dari 80.000 hektar luas TNTN,” ujar Nursyamsu, peneliti dari WWF Riau.
Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf menegaskan, pihaknya tidak berperan mengawasi TNTN. ”Kawasan konservasi sepenuhnya wewenang pusat,” katanya.Kondisi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN Way Kambas juga kian terdesak. ”Kawasan TNBBS telah dikepung perambah. Ada 61.000 hektar jadi perkebunan kopi, kakao, lada, dan sawah,” ujar Kepala Balai Besar TNBBS Jhon Kenedie.
Ahli kehutanan Universitas Gadjah Mada, Taufik Tri Hermawan, berpendapat, ancaman terbesar terhadap kawasan konservasi, termasuk taman nasional, justru dari manusia. ”Tiga ancaman terbesar adalah perubahan tata guna lahan menjadi perkebunan, tambang, dan pemekaran kabupaten baru,” katanya.
Manajemen PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk
menjelaskan, tak memiliki hubungan kerja dengan PT Kaswari Unggul, perusahaan
perkebunan beroperasi di Pandan Lagan, Kecamatan Geregai, Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Jambi. ”Perusahaan itu bukan anak usaha PT Bakrie Sumatera
Plantations Tbk, dan tidak terafiliasi kepada perusahaan lain dalam Kelompok
Usaha Bakrie,” papar Fitri Barnas, Chief Corporate Secretary PT Bakrie Sumatera
Plantations Tbk.
Hutan Sumatera Semakin Kritis
Senin, 16 April 2012 | 01:54 WIB
Jambi, Kompas - Perusakan dan penghancuran hutan
di Pulau Sumatera semakin parah. Kawasan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi, hutan produksi terbatas, dan taman nasional yang seharusnya
dilindungi malah dirambah untuk pengambilan kayu, perkebunan, dan penambangan.
Berdasarkan pantauan Kompas selama sepekan di sejumlah
daerah di Sumatera, aktivitas itu umumnya dilakukan pemodal besar dengan
melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat.
Di Provinsi Jambi, misalnya, luas hutan di wilayah
yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar.
Areal lebih kurang 1,7 juta hektar telah berubah fungsi menjadi perkebunan
kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan kawasan pertambangan. Selain itu,
sedikitnya 350.000 hektar hutan juga hancur akibat pembalakan liar.
Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000
hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kehancuran ini
semata-mata dipicu maraknya perambahan. ”Saat ini hutan lindung, hutan
konservasi, apalagi hutan produksi tidak ada yang bebas dari perambahan.
Perambahan di hutan produksi akhir- akhir ini meningkat,” kata Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung Warsito.
Kondisi serupa terjadi di Bengkulu. Kawasan yang
dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu seluas 45.345 hektar kini
sekitar 27.262 atau 61 persen di antaranya dirambah. Di Taman Buru Semidang
Bukit Kabu, Kabupaten Seluma, misalnya, perambahan telah mencapai 1.534 hektar
dari 9.036 hektar. Perambahan itu dilakukan 202 keluarga yang menanami lahan
dengan kopi, karet, kakao, dan kelapa sawit.
Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di
provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.
”Yang paling menyedihkan, banyak hutan yang rusak itu masuk Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL) yang seharusnya dilindungi karena penting bagi keseimbangan
ekosistem dan suplai air di Aceh,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar.
Sawit dan tambang
Zulfikar menegaskan, investasi sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh tahun 2011, tidak kurang dari 351.232,816 hektar lahan di Aceh kini dalam status konsesi untuk lahan perkebunan, dengan 236 izin hak guna usaha (HGU). Kemudian, 745.980,93 hektar telah beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan dengan 109 izin.
Zulfikar menegaskan, investasi sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh tahun 2011, tidak kurang dari 351.232,816 hektar lahan di Aceh kini dalam status konsesi untuk lahan perkebunan, dengan 236 izin hak guna usaha (HGU). Kemudian, 745.980,93 hektar telah beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan dengan 109 izin.
Rekomendasi dan izin diterbitkan pemerintah kabupaten
dan provinsi. ”Jumlah perizinan untuk HGU perkebunan pada 2009 masih 201 izin,
tetapi terus meningkat menjadi 236 izin pada 2011. Pemberian izin itu juga tak
melihat status lahan yang hendak dialihfungsikan,” tuturnya.
Contohnya, pemberian izin HGU perkebunan oleh Gubernur Aceh pada Agustus 2011 untuk PT Kalista Alam di Rawa Gambut Tripas seluas 1.605 hektar. Izin itu menyalahi aturan karena seluruh areal berada dalam KEL wilayah Aceh. Padahal, KEL telah ditetapkan menjadi kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, bukan untuk perkebunan.
Izin usaha tambang juga terus meningkat dari 10 izin pada 2009 menjadi 109 izin tahun 2011. Lebih parah lagi, 68 izin di antaranya berada dalam kawasan hutan lindung dan KEL. ”Jumlah izin ini akan terus bertambah karena adanya pembukaan keran investasi besar-besaran oleh daerah,” ujar Zulfikar.
Contohnya, pemberian izin HGU perkebunan oleh Gubernur Aceh pada Agustus 2011 untuk PT Kalista Alam di Rawa Gambut Tripas seluas 1.605 hektar. Izin itu menyalahi aturan karena seluruh areal berada dalam KEL wilayah Aceh. Padahal, KEL telah ditetapkan menjadi kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, bukan untuk perkebunan.
Izin usaha tambang juga terus meningkat dari 10 izin pada 2009 menjadi 109 izin tahun 2011. Lebih parah lagi, 68 izin di antaranya berada dalam kawasan hutan lindung dan KEL. ”Jumlah izin ini akan terus bertambah karena adanya pembukaan keran investasi besar-besaran oleh daerah,” ujar Zulfikar.
Demi pemodal?
Beberapa pemerintah daerah di Sumatera beramai-ramai meminta pelepasan status kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan.
Provinsi Sumatera Selatan, misalnya, mengusulkan pelepasan hutan seluas 459.929 hektar. Usul itu meliputi 11.415 hektar hutan konservasi, 81.279 hektar hutan lindung, 94.852 hektar hutan produksi, 262.398 hektar hutan produksi konservasi, dan 9.986 hektar hutan konservasi perairan. Jika usulan diterima, Sumsel kehilangan 12 persen hutan dari total 3,82 juta hektar.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel Sigit Wibowo, usul pelepasan kawasan hutan itu atas permintaan pemerintah kabupaten dan kota sebagai bagian dari proses revisi rencana tata ruang wilayah nasional. Jika telah menjadi areal penggunaan lain (APL), kawasan tersebut bisa dijadikan hak milik atau diperjualbelikan.
Beberapa pemerintah daerah di Sumatera beramai-ramai meminta pelepasan status kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan.
Provinsi Sumatera Selatan, misalnya, mengusulkan pelepasan hutan seluas 459.929 hektar. Usul itu meliputi 11.415 hektar hutan konservasi, 81.279 hektar hutan lindung, 94.852 hektar hutan produksi, 262.398 hektar hutan produksi konservasi, dan 9.986 hektar hutan konservasi perairan. Jika usulan diterima, Sumsel kehilangan 12 persen hutan dari total 3,82 juta hektar.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel Sigit Wibowo, usul pelepasan kawasan hutan itu atas permintaan pemerintah kabupaten dan kota sebagai bagian dari proses revisi rencana tata ruang wilayah nasional. Jika telah menjadi areal penggunaan lain (APL), kawasan tersebut bisa dijadikan hak milik atau diperjualbelikan.
”Saat ini usulan itu masih menunggu persetujuan,” tuturnya.
Di Sumatera Utara, pemerintah setempat mengusulkan
perubahan status hutan seluas 564.200,36 hektar untuk menjadi kawasan bukan
hutan. Pemerintah Provinsi Bengkulu mengusulkan 90.000 hektar menjadi APL.
Sebaliknya, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, justru menaikkan status 52.000 hektar APL yang selama ini dikelola masyarakat menjadi hutan produksi. Anehnya, kawasan itu kemudian dikonversi menjadi HTI yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Wira Karya Sakti, anak usaha Sinar Mas Forestry.
Sebaliknya, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, justru menaikkan status 52.000 hektar APL yang selama ini dikelola masyarakat menjadi hutan produksi. Anehnya, kawasan itu kemudian dikonversi menjadi HTI yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Wira Karya Sakti, anak usaha Sinar Mas Forestry.
Padahal, di dalam kawasan tersebut terdapat banyak
permukiman dan kebun masyarakat dengan empat desa. Konflik antara masyarakat
dan perusahaan pun tidak terhindarkan. Empat bulan lalu, 500 warga Senyerang
menduduki areal itu. ”Kami hanya menuntut pengembalian lahan agar masyarakat
bisa kembali menanam,” tutur Asmawi, pemuka masyarakat Senyerang.
Penurunan status hutan menjadi APL melalui peninjauan
ulang tata ruang tersebut, menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia
Warsi Bengkulu Nurkholis Sastro, merupakan akal-akalan pemerintah guna memenuhi
kepentingan pemilik modal. ”Setelah menjadi APL, pemerintah leluasa memberikan
izin pemanfaatan kepada perusahaan perkebunan atau tambang,” kata Sastro.
”Usulan pelepasan hutan itu jangan dikabulkan. Pelepasan
itu hanya mempercepat laju kerusakan hutan karena tak ada perlindungan lagi,”
ujar Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat.
68.000 Hektar Hutan Jabar Bermasalah
Penulis : | Selasa, 14 Desember 2010 | 19:13 WIB
BANDUNG, KOMPAS.com - Sekitar 68 ribu hektar hutan di Provinsi Jawa Barat penggunaanya tidak sesuai dengan prosedural atau bermasalah.
"Dari total luas lahan hutan di Jabar sekitar 847.000 hektar, sebanyak delapan persen atau 68 ribu hektar penggunaannya tidak sesuai dengan prosedur," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Anang Sudarna, Selasa (14/12/2010).
Anang mengatakan, penggunaan lahan hutan di Jawa Barat
yang tidak sesuai prosedur juga dilakukan oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia
(RNI).
Menurutnya, sejak tahun 1976 PT RNI menggunakan lahan hutan untuk perkebunan tebu di wilayah Majalengka, dan Indramayu.
"Saat itu, memang tidak ada masalah (penggunaan lahan hutan oleh PT RNI) yang izinkan didapatkan dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan," kata Anang.
Menurutnya, sejak tahun 1976 PT RNI menggunakan lahan hutan untuk perkebunan tebu di wilayah Majalengka, dan Indramayu.
"Saat itu, memang tidak ada masalah (penggunaan lahan hutan oleh PT RNI) yang izinkan didapatkan dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan," kata Anang.
Penggunaan lahan hutan oleh PT RNI yang tidak sesuai
prosedur mencapai 12.100 hektar. Dikatakannya, masalah penggunaan lahan hutan
oleh PT RNI mulai dipertanyakan proseduralnya pada tahun 2005 oleh Kementerian
Kehutanan.
"Di dalam prosesnya, pada tahun 2005 muncul masalah Hak Guna Usaha dari PT RNI tentang lahan tebu yang digunakan," kata Anang.
"Di dalam prosesnya, pada tahun 2005 muncul masalah Hak Guna Usaha dari PT RNI tentang lahan tebu yang digunakan," kata Anang.
Kementerian Kehutanan sendiri, kata Anang, sudah tiga
kali mengirimkan surat peringatan terhadap PT RNI terkait penggunaan lahan
hutan untuk ladang tebu.
"Surat peringatan sudah tiga kali diberikan dari Menhut, tapi kalau pun mau diganti oleh RNI maka penggantiannya harus 1:2. Karena ini kan untuk kepentingan komersial dan sesuai dengan UU No 14 Tahun 1999," katanya.
"Surat peringatan sudah tiga kali diberikan dari Menhut, tapi kalau pun mau diganti oleh RNI maka penggantiannya harus 1:2. Karena ini kan untuk kepentingan komersial dan sesuai dengan UU No 14 Tahun 1999," katanya.
Untuk menangani masalah pelanggaran penggunaan kawasan
hutan yang tidak sesuai prosedural/tindak pidana, Gubernur Provinsi Jawa Barat
Ahmad Heryawan, menggelar expose dengan Kapolda, Perhutani, Dishub Jabar di
Gedung Bappeda Jawa Barat.
"Kita berusaha merumuskan penyelamatan hutan-hutan negara dari okupnasi kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab," kata Ahmad Heryawan, usai membuka expose tersebut.
"Kita berusaha merumuskan penyelamatan hutan-hutan negara dari okupnasi kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab," kata Ahmad Heryawan, usai membuka expose tersebut.
Gubernur mengatakan, kerugian material dan non
material akibat masalah pelanggaran penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai
prosedural/tindak pidana di Jawa Barat cukup banyak.
"Kerugian materi tinggal dihitung saja, kalau non materi banyak seperti banjir, longsor, lumpur dan kerusakan lahan/sawah," katanya.
"Kerugian materi tinggal dihitung saja, kalau non materi banyak seperti banjir, longsor, lumpur dan kerusakan lahan/sawah," katanya.
Menurutnya, saat ini harus ada sosialisasi mengenai
masalah pelanggaran penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai
prosedural/tindak pidana kepada masyarakat.
"Selama ini Perda dan aturan hukuman lainnya sudah ada tapi masyarakat tidak tahu. Makanya, bagaimana cara penanganannya akan kita rumuskan di sini," kata Gubernur.
"Selama ini Perda dan aturan hukuman lainnya sudah ada tapi masyarakat tidak tahu. Makanya, bagaimana cara penanganannya akan kita rumuskan di sini," kata Gubernur.
Sumber
:
Related Post:
Pddk Lingkungan Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hanya buat sharing aja....